Sekilas
tentang judul Hack di adopsi dari bahasa negeri seberang, dimana hack adalah
kegiatan mengambil alih sistem program komputer. Pengambil alihan pada sistem
program komputer dengan memasuki sistem paling mendasar, sehingga kontrol
terhadap sistem komputer dapat sepenuhnya dilakukan.
Hack
Partai Politik bertujuan sama dengan apa yang dilakukan pada komputer namun
dengan wilayah sistem partai politik. Tindakan ini dilakukan untuk memperbaiki
sistem dan cara berpikir kader partai yang harus dirubah. Hack partai politik
dilakukan oleh siapapun yang ingin menjadikan partai politik menjadi lebih baik
membawa kepentingan rakyat. Penting sebelum dilakukan para pelaku Hack Parpol
mesti mengetahui hal-hal dasar dibawah ini:
Sejarah Parpol
Sejarah Pada pemilu pertama di
tahun 1955, banyak perkiraan yang dilakukan oleh pelaku dan pengamat politik
ternyata keliru. Herbert Feith (Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, 1957)
mengungkapkan, tokoh-tokoh dari berbagai aliran politik sama-sama dikejutkan
oleh hasil pemilihan umum itu. Kejutan terbesar adalah sukses Nahdlatul Ulama
(NU) menaikkan jumlah wakilnya di parlemen dari delapan menjadi 45 dan
perolehan Masyumi yang tidak disangka begitu kecil di Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Sebaliknya, kekuatan PNI dan PKI di kedua wilayah itu juga menimbulkan
hal yang tidak diduga. Terutama PNI karen a dengan memenangkan kedua wilayah
itu partai nasionalis ini bisa duduk di peringkat pertama dan mengungguli
perolehan suara Masyumi yang dominan dalam penguasaan wilayah. Masyumi menjadi
partai Islam terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari
15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah,
Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun,
di Jawa Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh
PNI, dan di Jawa Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan
Masyumi secara nasional tak terjadi.
Empat puluh empat tahun
kemudian, ketika pemilu demokratis kembali digelar, banyak yang memperkirakan
Golkar akan tamat seiring dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Ternyata
pendapat ini keliru. Golkar, bahkan masih dapat menduduki posisi kedua dalam
perolehan suara nasional. Wilayah yang dimenangkannya pun masih cukup
signifikan untuk kembali membangun kepercayaan. Dari 313 wilayah kabupaten/kota
dalam Pemilu 1999, Golkar masih menguasai 114 daerah (36,4 persen). Sebaliknya,
partai-partai baru yang tumbuh seiring dengan gerakan reformasi ternyata tidak
dominan, baik dalam perolehan suara maupun wilayah yang dimenangkannya. Di
antara 45 partai baru dari total 48 partai, hanya tiga partai yang mampu meraih
kemenangan berdasarkan basis wilayah, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Dalam pemilu ini
pula, kemunculan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menjadi
fenomenal karena mampu melampaui perolehan suara dengan selisih cukup jauh
dengan pesaing terdekatnya (Partai Golkar) dan tiga kali lipat dari perolehan
suara partai terbesar ketiga. Wilayah yang dikuasainya pun dominan, 53 persen
atau 166 kabupaten/kota.
Akan tetapi, determinasi
kewilayahan PDI-P ternyata tidak bertahan lebih dari lima tahun karenanya
Pemilu 2004 menimbulkan kejutan berikutnya. Suara untuk partai yang lekat
dengan sosok putri mendiang mantan Presiden Soekarno tersebut turun drastis,
tinggal separuhnya (18,5 persen). Wilayah yang didominasinya pun menyusut,
tinggal 20,2 persen dari 440 kabupaten/kota.
Sebaliknya, keterpurukan Golkar
mampu dipulihkan dengan cepat. Meskipun secara nasional perolehan suara Golkar
justru turun dari 22,4 persen pada tahun 1999 menjadi 21,6 persen pada tahun
2004, menduduki peringkat satu dan sebaran wilayah yang mampu dimenangkannya
pun makin banyak. Dalam pemilu terakhir, partai berlambang beringin itu mampu
menaikkan penguasaan wilayahnya menjadi 61,6 persen atau 271 kabupaten/kota.
Penguasaan wilayah oleh Partai
Golkar pada Pemilu 2004 banyak terjadi di wilayah-wilayah hasil pemekaran. Dari
143 daerah yang dimekarkan antara tahun 1999-2004, 72 persen atau 103 wilayah
pemekaran dimenangkan oleh Partai Golkar pada Pemilu 2004. PDI-P hanya
memenangkan 12,6 persen wilayah pemekaran, sisanya diperebutkan oleh
partai-partai lain.
Pemilu 2004 juga ditandai
dengan fenomena munculnya dua kekuatan partai baru, Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) dan Partai Demokrat, yang mampu mengungguli raihan suara PAN. Kehadiran
dua partai yang tumbuh secara cepat ini menandai jejak baru dalam peta politik
nasional.
Pemilu 2009 kembali muncul
fenomena yang mengejutkan dengan kemenangan yang besar dari kekuatan Partai
Demokrat, meninggalkan partai-partai senior Partai Golkar, PDI-P dan PPP.
Fenomenal itu membuat Partai Demokrat memiliki kekuatan Full Power di
Legislatif dan Eksekutif.
Bagaimanapun Parpol
meninggalkan jejak ideologis, timbul-tenggelamnya kekuatan partai membekaskan
jejak pada wilayah yang pernah dikuasainya. Di Jawa, perubahan komposisi
nasionalis-agama cenderung dinamis. Sementara di luar Jawa, penetrasi kekuatan
Orde Baru mengubah peta politik menjadi lebih permanen. Warna politik
nasionalis masih tetap kental di luar Jawa walaupun kekuasaan Orde Baru tumbang.
Kebanyakan dari wilayah-wilayah
di Pulau Sumatera, seperti Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung,
dan Sumatera Utara, telah berubah warna. Wilayah ini cenderung menjadi basis
partai nasionalis. Di hampir semua wilayah Kalimantan juga telah berubah
menjadi basis massa partai nasionalis. Kekuatan nasionalis pun merambah ke
wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB). Wilayah ?hijau? yang 67 persen suaranya
dikuasai oleh partai-partai Islam pada Pemilu 1955 ini menjadi relatif
permanen dengan warna ?kuning? Golkar sejak Pemilu 1971-2004. Di Sulawesi
Selatan, wilayah yang 69 persen dikuasai oleh partai ?hijau? pada tahun 1955
telah berubah 180 derajat menjadi sangat nasionalis.
Meski demikian, tetap ada
kantong-kantong wilayah (enclave) yang memiliki karakter kuat. Sebagian wilayah
yang ditinggalkan oleh Masyumi, misalnya, tetap memiliki ciri sebagai basis
massa Islam ketika pemilu kembali dilaksanakan secara bebas. Jakarta, Jawa
Timur, Sumatera Barat, Riau, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Kalimantan Selatan
cenderung memiliki keseimbangan politik aliran-nasionalis yang lebih stabil.
Sejak tahun 1999, pergeseran
paling dominan dalam penguasaan wilayah hanya terjadi di antara dua partai
besar saja, Partai Golkar dan PDI-P. Meskipun beberapa partai baru, seperti
PKS, mampu merebut beberapa wilayah, dan PKB menjadi kekuatan di Jawa Timur,
penguasaannya masih berkecakupan sempit.
Pergeseran dalam cakupan
wilayah yang luas antara PDI-P dan Partai Golkar mencerminkan tarikan kekuatan
yang, sejauh ini, paling besar pengaruhnya. Di wilayah perkotaan, misalnya,
pada Pemilu 1999 PDI-P berhasil meraih kemenangan di 50 dari 69 kota di
Indonesia, tetapi kemudian direbut kembali oleh Partai Golkar pada
Pemilu 2004. Dalam pemilu terakhir tersebut, Partai Golkar meraih 50 dari 99
kota dan PDI-P hanya 18 kota.
Perubahan tampaknya memang
lebih identik dengan wilayah perkotaan daripada pedesaan. Terutama di Jawa,
selain tarikan politik antarsesama partai nasionalis besar (Partai Golkar dan
PDI-P) terjadi di wilayah perkotaan, kota juga menjadi ajang penaklukan
partai-partai baru. Kemenangan PKS di Jawa yang semuanya berada di wilayah
perkotaan mengindikasikan bahwa perkotaan menjadi wilayah terbuka untuk meraih
simpati.
Di samping itu, pola penguasaan
wilayah diperkirakan akan mengalami perubahan besar karena kontestasi partai
dalam pilkada, yang membuat sebagian partai menguat pengaruhnya dan sebagian
yang lain melemah di basis massanya. Partai Golkar yang dalam Pemilu
2004 menang di 27 provinsi, kehilangan 20 provinsi dalam ajang pilkada. Partai
ini tampak solid dengan meraih kemenangan tanpa koalisi hanya di dua provinsi,
yang semuanya di Sulawesi. Sebaliknya, PDI-P yang dalam pemilu sebelumnya hanya
menang di dua provinsi mampu menguasai tujuh provinsi dalam pilkada. Demikian
juga koalisi yang dibangun PKS, meskipun kalah di satu-satunya basis massa
tingkat provinsi (DKI Jakarta), pengaruhnya di tujuh provinsi lain tetap
tertancap.
Apakah prediksi perolehan suara
dan penguasaan partai atas dasar pilkada akan terbukti, tidak bisa dijamin.
Belajar dari sejarah, pemilu kerap penuh kejutan dan konstelasi yang memang
selalu samar.
Bersambung......Next
Posting
By. Tan Airdikit
0 komentar:
Posting Komentar