Sabtu, 13 Juli 2013

HACK PARTAI POLITIK (Bag. 1)



Sekilas tentang judul Hack di adopsi dari bahasa negeri seberang, dimana hack adalah kegiatan mengambil alih sistem program komputer. Pengambil alihan pada sistem program komputer dengan memasuki sistem paling mendasar, sehingga kontrol terhadap sistem komputer dapat sepenuhnya dilakukan.

Hack Partai Politik bertujuan sama dengan apa yang dilakukan pada komputer namun dengan wilayah sistem partai politik. Tindakan ini dilakukan untuk memperbaiki sistem dan cara berpikir kader partai yang harus dirubah. Hack partai politik dilakukan oleh siapapun yang ingin menjadikan partai politik menjadi lebih baik membawa kepentingan rakyat. Penting sebelum dilakukan para pelaku Hack Parpol mesti mengetahui hal-hal dasar dibawah ini:


Sejarah Parpol
Sejarah Pada pemilu pertama di tahun 1955, banyak perkiraan yang dilakukan oleh pelaku dan pengamat politik ternyata keliru. Herbert Feith (Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, 1957) mengungkapkan, tokoh-tokoh dari berbagai aliran politik sama-sama dikejutkan oleh hasil pemilihan umum itu. Kejutan terbesar adalah sukses Nahdlatul Ulama (NU) menaikkan jumlah wakilnya di parlemen dari delapan menjadi 45 dan perolehan Masyumi yang tidak disangka begitu kecil di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebaliknya, kekuatan PNI dan PKI di kedua wilayah itu juga menimbulkan hal yang tidak diduga. Terutama PNI karen a dengan memenangkan kedua wilayah itu partai nasionalis ini bisa duduk di peringkat pertama dan mengungguli perolehan suara Masyumi yang dominan dalam penguasaan wilayah. Masyumi menjadi partai Islam terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI, dan di Jawa Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara nasional tak terjadi.
Empat puluh empat tahun kemudian, ketika pemilu demokratis kembali digelar, banyak yang memperkirakan Golkar akan tamat seiring dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru. Ternyata pendapat ini keliru. Golkar, bahkan masih dapat menduduki posisi kedua dalam perolehan suara nasional. Wilayah yang dimenangkannya pun masih cukup signifikan untuk kembali membangun kepercayaan. Dari 313 wilayah kabupaten/kota dalam Pemilu 1999, Golkar masih menguasai 114 daerah (36,4 persen). Sebaliknya, partai-partai baru yang tumbuh seiring dengan gerakan reformasi ternyata tidak dominan, baik dalam perolehan suara maupun wilayah yang dimenangkannya. Di antara 45 partai baru dari total 48 partai, hanya tiga partai yang mampu meraih kemenangan berdasarkan basis wilayah, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Dalam pemilu ini pula, kemunculan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menjadi fenomenal karena mampu melampaui perolehan suara dengan selisih cukup jauh dengan pesaing terdekatnya (Partai Golkar) dan tiga kali lipat dari perolehan suara partai terbesar ketiga. Wilayah yang dikuasainya pun dominan, 53 persen atau 166 kabupaten/kota.
Akan tetapi, determinasi kewilayahan PDI-P ternyata tidak bertahan lebih dari lima tahun karenanya Pemilu 2004 menimbulkan kejutan berikutnya. Suara untuk partai yang lekat dengan sosok putri mendiang mantan Presiden Soekarno tersebut turun drastis, tinggal separuhnya (18,5 persen). Wilayah yang didominasinya pun menyusut, tinggal 20,2 persen dari 440 kabupaten/kota.
Sebaliknya, keterpurukan Golkar mampu dipulihkan dengan cepat. Meskipun secara nasional perolehan suara Golkar justru turun dari 22,4 persen pada tahun 1999 menjadi 21,6 persen pada tahun 2004, menduduki peringkat satu dan sebaran wilayah yang mampu dimenangkannya pun makin banyak. Dalam pemilu terakhir, partai berlambang beringin itu mampu menaikkan penguasaan wilayahnya menjadi 61,6 persen atau 271 kabupaten/kota.
Penguasaan wilayah oleh Partai Golkar pada Pemilu 2004 banyak terjadi di wilayah-wilayah hasil pemekaran. Dari 143 daerah yang dimekarkan antara tahun 1999-2004, 72 persen atau 103 wilayah pemekaran dimenangkan oleh Partai Golkar pada Pemilu 2004. PDI-P hanya memenangkan 12,6 persen wilayah pemekaran, sisanya diperebutkan oleh partai-partai lain.
Pemilu 2004 juga ditandai dengan fenomena munculnya dua kekuatan partai baru, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat, yang mampu mengungguli raihan suara PAN. Kehadiran dua partai yang tumbuh secara cepat ini menandai jejak baru dalam peta politik nasional.
Pemilu 2009 kembali muncul fenomena yang mengejutkan dengan kemenangan yang besar dari kekuatan Partai Demokrat, meninggalkan partai-partai senior Partai Golkar, PDI-P dan PPP. Fenomenal itu membuat Partai Demokrat memiliki kekuatan Full Power di Legislatif dan Eksekutif.

Bagaimanapun Parpol meninggalkan jejak ideologis, timbul-tenggelamnya kekuatan partai membekaskan jejak pada wilayah yang pernah dikuasainya. Di Jawa, perubahan komposisi nasionalis-agama cenderung dinamis. Sementara di luar Jawa, penetrasi kekuatan Orde Baru mengubah peta politik menjadi lebih permanen. Warna politik nasionalis masih tetap kental di luar Jawa walaupun kekuasaan Orde Baru tumbang.
Kebanyakan dari wilayah-wilayah di Pulau Sumatera, seperti Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Utara, telah berubah warna. Wilayah ini cenderung menjadi basis partai nasionalis. Di hampir semua wilayah Kalimantan juga telah berubah menjadi basis massa partai nasionalis. Kekuatan nasionalis pun merambah ke wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB). Wilayah ?hijau? yang 67 persen suaranya dikuasai oleh partai-partai Islam pada Pemilu 1955 ini menjadi relatif permanen dengan warna ?kuning? Golkar sejak Pemilu 1971-2004. Di Sulawesi Selatan, wilayah yang 69 persen dikuasai oleh partai ?hijau? pada tahun 1955 telah berubah 180 derajat menjadi sangat nasionalis.
Meski demikian, tetap ada kantong-kantong wilayah (enclave) yang memiliki karakter kuat. Sebagian wilayah yang ditinggalkan oleh Masyumi, misalnya, tetap memiliki ciri sebagai basis massa Islam ketika pemilu kembali dilaksanakan secara bebas. Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat, Riau, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Kalimantan Selatan cenderung memiliki keseimbangan politik aliran-nasionalis yang lebih stabil.
Sejak tahun 1999, pergeseran paling dominan dalam penguasaan wilayah hanya terjadi di antara dua partai besar saja, Partai Golkar dan PDI-P. Meskipun beberapa partai baru, seperti PKS, mampu merebut beberapa wilayah, dan PKB menjadi kekuatan di Jawa Timur, penguasaannya masih berkecakupan sempit.
Pergeseran dalam cakupan wilayah yang luas antara PDI-P dan Partai Golkar mencerminkan tarikan kekuatan yang, sejauh ini, paling besar pengaruhnya. Di wilayah perkotaan, misalnya, pada Pemilu 1999 PDI-P berhasil meraih kemenangan di 50 dari 69 kota di Indonesia, tetapi kemudian direbut kembali oleh Partai Golkar pada Pemilu 2004. Dalam pemilu terakhir tersebut, Partai Golkar meraih 50 dari 99 kota dan PDI-P hanya 18 kota.
Perubahan tampaknya memang lebih identik dengan wilayah perkotaan daripada pedesaan. Terutama di Jawa, selain tarikan politik antarsesama partai nasionalis besar (Partai Golkar dan PDI-P) terjadi di wilayah perkotaan, kota juga menjadi ajang penaklukan partai-partai baru. Kemenangan PKS di Jawa yang semuanya berada di wilayah perkotaan mengindikasikan bahwa perkotaan menjadi wilayah terbuka untuk meraih simpati.
Di samping itu, pola penguasaan wilayah diperkirakan akan mengalami perubahan besar karena kontestasi partai dalam pilkada, yang membuat sebagian partai menguat pengaruhnya dan sebagian yang lain melemah di basis massanya. Partai Golkar yang dalam Pemilu 2004 menang di 27 provinsi, kehilangan 20 provinsi dalam ajang pilkada. Partai ini tampak solid dengan meraih kemenangan tanpa koalisi hanya di dua provinsi, yang semuanya di Sulawesi. Sebaliknya, PDI-P yang dalam pemilu sebelumnya hanya menang di dua provinsi mampu menguasai tujuh provinsi dalam pilkada. Demikian juga koalisi yang dibangun PKS, meskipun kalah di satu-satunya basis massa tingkat provinsi (DKI Jakarta), pengaruhnya di tujuh provinsi lain tetap tertancap.
Apakah prediksi perolehan suara dan penguasaan partai atas dasar pilkada akan terbukti, tidak bisa dijamin. Belajar dari sejarah, pemilu kerap penuh kejutan dan konstelasi yang memang selalu samar.

Bersambung......Next Posting

By. Tan Airdikit

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com